Kebebasan Eksistensiil

KEBEBASAN eksistensiil adalah kemampuan manusia untuk menentukan diri, tindakan, dan sikapnya. Kebebasan eksistensiil dapat disebut juga ‘kebebasan batin’ atau inner freedom, kemudian ‘kebebasan pribadi’ yakni personal freedom, atau ‘kebebasan metafisik’ yakni metaphysical freedom, dan atau ‘kebebasan kehendak’ yakni free will atau liberum arbitrium.

Disebut ‘kebebasan eksistensiil’ adalah karena kebebasan melekat dalam hakikat manusia sebagai eksistensi. Akan halnya disebut ‘kebebasan batin’, karena hal tersebut ada di dalam diri manusia dan tak dapat dihapus oleh paksaan luar. Sedangkan, kebebasan eksistensiil disebut sebagai ‘personal freedom’ karena kebebasan ini membedakan tindakan manusia dari kejadian alami. Selanjutnya, disebut sebagai ‘kebebasan metafisik’ adalah karena kebebasan tidak dapat diobservasi secara empiris, tetapi kenyataannya ada.

Ada lima dasar kebebasan eksistensiil. Pertama, manusia mampu mengambil jarak terhadap realitas di sekelilingnya. Ia dapat menangkap realitas itu sebagai obyek yang dapat diamati dan dipertimbangkan.

Kedua, manusia tidak hanya memiliki kemampuan untuk mengambil jarak alam, tetapi juga terhadap dirinya, maka ia menyadari dirinya.

Thomas Aquinas mengatakan, manusia memiliki kemampuan yang disebut reditio completa in seipsum, yaitu mampu menyadari ‘diri’-nya. Ini memungkin ia dapat menentukan tindakannya dan mengambil sikap.

Menurut John Macquarrie, cara bereksistensi yang khas manusiawi muncul dari tindakan negasi. Dalam arti bahwa, manusia mengambil jarak dirinya sendiri dari alam atau dunia benda. Pengambilan jarak inilah, yang telah menciptakan “terobosan”, sehingga memungkinkan kebebasan manusia dan transendensi. Manusia telah melangkah keluar dari jalinan erat kekuatan, yang kita sebut alam sehingga ia tidak sepenuhnya diatur oleh hukum alam. (In Search of Humanity. A Theological and Philosophical Approach. London: SCM Press, 1982, 12)

Hal sama dikemukakan Howard P. Kainz, ‘kebebasan memilih’ dapat dikatakan mengimplikasi suatu kemampuan negative untuk menarik diri secara psikis dari pengaruh deterministik dengan semacam perasaan kembali-ke-dirinya-sendiri. Kita memiliki kemampuan menarik diri dari segala hal yang kontingen ke dalam batin kita guna menjelaskan keyakinan kita bahwa kita tidak dikendalikan atau ditentukan oleh salah satu faktor di luar diri kita—apakah faktor itu termasuk kategori alamiah atau budaya; tetapi, lebih dari kemampuan yang negatif untuk menarik diri secara psikis—apakah kita memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan mengarahkan diri kita. Ini membawa kita pada masalah ‘kehendak bebas’ yang dapat kita definisikan sebagai kemampuan menentukan diri. (The Philosophy of Man, 71-72)

Ketiga—Akal budi atau intelek manusia terarah kepada Yang Tak Terbatas. Pun, kehendak manusia terarah pada Kebaikan Yang Tak Terbatas. Dalam kenyataan hidup, manusia selalu dihadapkan dengan ‘yang baik’ tetapi terbatas. Maka, ia tidak dipaksakan untuk menghendakinya karena ‘yang baik’ itu bukan kebaikan penuh atau kebaikan yang tak terbatas. Dengan lain perkataan, kebaikan yang direpresentasikan kepada kehendak adalah kebaikan terbatas. Bila kehendak menerimanya, ia menerima tanpa keterpaksaan. Oleh karenanya, kebebasan pun disebut ‘kebebasan kehendak’, yakni ‘freedom of the will’ atau ‘free will’.

Keempat—lebih dari kemampuan ‘negatif’ untuk mengambil jarak terhadap alam dan dirinya, dalam diri manusia, ada yang dapat kita sebut sebagai kemampuan mengarahkan, pada bahasa Yunani disebut hegemonikon, berasal dari kata hegesthai atau membimbing. Para filsuf dan gerejawan Eropa abad pertengahan menggunakannya dengan pengertian suatu kemampuan sadar dan rasional, yang mengarahkan, mempersatukan dan membedakan tindakan dan sikap manusia. (J. Macquarrie, In Search of Humanity, 14)

Kelima—Thomas Aquinas membedakan tiga momen dalam pelaksanaan kehendak bebas, yaitu: deliberasi (pertimbangan), penilaian, dan pemilihan.

Pertimbangan adalah fase eksplorasi dan penyelidikan tentang obyek yang hendak dicapai atau tindakan untuk dilaksanakan. Suatu tindakan disebut ‘bebas’ kalau orang mengetahui apa yang dikehendaki dan memeriksa semuanya dengan seksama.

Pada momen penilaian, setelah didapat informasi, orang menilai pro dan kontranya apakah cukup menguntungkan atau tidak. Penilaian positif belum tentu ipso fakto membawa pemenuhan perbuatan atau pilihan tindakan. Fase ini masih merupakan penilaian abstrak.

Kemudian, momen berikutnya: Tindakan bebas terjadi dalam pemilihan atau keputusan, yang merupakan perbuatan yang kompleks dan merupakan hasil dari suatu dialog antara akal budi dan kehendak. Thomas mengatakan bahwa dalam pemilihan itu ada unsure kognitif dan unsure apetitif atau dorongan kehendak. Keduanya bersatu dalam fase pemilihan atau keputusan. M. Sastrapratedja SJ | [Rahmat Ali.co.cc]