Pemaknaan Taawud dan Basmalah: Titik Tolak Sublimasi Jiwa Seorang Muslim



“Apabila kamu membaca Alquran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS [An-Naĥl] 16:99) (*)


KALIMAT TAAWUD MERUPAKAN pembuka Alquran Karim yang bukan basa-basi biasa, namun mengandung makna penting dan mendasar.

To the point—syaitan bukan sesuatu yang tidak dapat diidentifikasi secara kongkret sejauh logika dan pemikiran. Untuk sementara, mari kita sampingkan eksistensi makhluk halus atau hantu, melainkan lebih mengutamakan aspek kejiwaan manusia.

Syaitan sudah inheren dalam konstitusi manusia sebagai disposisi fisiologis dan psikologis sejak ‘kita’ atau homo sapiens ini mendapatkan kehidupan melalui aksi tenaga kosmik dari konstansi anorganik Allah ‘Azza wa Jalla swt.. Syaitan dalam arti psikologis merupakan rejim instingtif. Ia mendasarkan fungsinya dengan pleasure principle atau prinsip kenikmatan. Psikoanalis masyhur keturunan Yahudi, Sigmund Freud (1856-1939), menyebutnya dengan istilah das Es atau Id.

Das Es adalah sumber hawa nafsu, nafs amarah. Selaras dengan firman yang Alquran cantumkan dalam QS [Yûsuf] 12:54, ia merupakan kumpulan destruksi nilai yang hanya mengejar kesenangan belaka. Dari posisi das Es itu, segala khayal dan keinginan tentang kenikmatan organisme dibentuk. Dari posisi das Es, tragedi buah khuldi serta tragedi Habil dan Qabil terjadi.

Sesungguhnya, segala dosa dunia bersumber dari das Es itu. Ia membawa manusia kepada keburukan yang bertentangan dengan kesempurnaannya serta bertolak belakang dari keadaan akhlaknya, dan ia menginginkan manusia supaya berjalan pada jalan yang tidak baik dan buruk. Ultra materialisme dan atheisme atau berhalaisme yang menjadikan duniawi sebagai tujuan akhir pun bersumber dari das Es.

Impuls atau gerak hati instingtif terpenting dari das Es ialah impuls stomach dan seksual, yaitu dorongan rasa lapar dan syahwati. Yang paling berbahaya ialah impuls Agresif yang sesungguhnya merupakan ‘insting mati’—cenderung kepada kerusakan dan kehancuran. Pada posisi das Es, sesungguhnya stuktur biologi dan mental manusia adalah sama dengan binatang.

Impuls stomach menjadi akar segala perilaku ketamakan, dan impuls seksual menjadi akar segala perilaku pemuasan hawa nafsu. Impuls Agresif sangat misterius. Segala kecenderungan kepada pengrusakan dan penghancuran apa saja—termasuk segala bentuk kerakusan dan kekerasan—bersumber dari impuls agresitas ini. Jika impuls stomach dan seksual termasuk dalam kategori ‘insting-insting hidup’, maka impuls agresif berasal dari ‘insting-insting mati’.

Kembali—dengan menyebut a’ûdzubi`l-Lâhi mina`sy-syaithâni`r-rajîm, artinya kita mewaspadai semua impuls instingtif das Es, mewaspadai nafs amarah ego kita sendiri, mewaspadai diri ke dalam, mengenali dorongan-dorongan impulsif yang menempatkan derajat manusia sama dengan hewan. Dengan demikian, kita “memasuki Alquran” dengan kondisi psikologis yang terbebas dari kekuasaan rejim instingtif yang syaitani.

Pula, di dalam diri manusia, terdapat energi-psikis yang menghidupi dorongan moralistis, yang disebut oleh Freud sebagai istilah das Über Ich atau super ego. Kita mengakrabinya dengan akhlak fadilah. Dalam berfungsinya das Über Ich berpijak pada moral principle atau prinsip moralitas. Das Über Ich berisi struktur nilai kebudayaan, termasuk religi dan tradisi-tradisi yang bertujuan membangun mental manusia ke arah kesempurnaan.

Das Über Ich merupakan lawan das Es. Di dalam das Über Ich segala potensi spiritual dikembangkan. Das Über Ich umat Islam tentu berisi etika-etika baku, yakni struktur nilai ajaran, budaya, dan tradisi Islam yang merupakan isi-isi kesadaran dan ketidaksadaran baik individu maupun kolektif.


SELANJUTNYA, KETIKA KITA MENYEBUT Basmalah—Bismi`l-Lâhi`r-Raĥmâni`r-Raĥîm—sebagai ayat pertama pembuka Alquran, maka jiwa kita berada pada posisi das Über Ich.

Nabi Muhammad saw. pernah bersabda bahwa ayat basmalah itu merupakan bagian semua Surah Alquran (Bukhârî dan Dâr al-Quthnî). Penempatannya pada tiap permulaan Surah—kecuali QS At-Taubah sebagai lanjutan Suraj Al-Anfâl—memiliki arti bahwa Alquran berisi khazanah ilmu Ilahi yang tidak dapat disentuh tanpa karunia khusus Tuhan. Artinya, untuk dapat masuk ke dalam Khazanah ilmu Ilahi yang termuat dalam Alquran dan untuk mendapat faedah darinya, hendaknya kita bukan saja dengan hati yang suci (QS [Al-Wâqi’ah] 56:80), melainkan harus pula senantiasa mohon pertolongan Tuhan.

Basmalah memijakkan kepribadian kita kepada nilai-nilai moralitas dari struktur religi yang kita anut, yaitu Islam. Segala persoalan mengenai urusan akhlak dan rohani, dengan satu atau lain cara, ada pertaliannya dengan dua sifat Ilahi yang pokok, yaitu Rahmaniyah atau Kemurahan dan Rahimiyah atau Kasih-sayang; yakni, dalam arti sepenuhnya, sesuai dengan isi-isi kesadaran dan ketidaksadaran yang kita miliki.


SUATU ANJURAN MORALITAS dengan agresitas, menunjukkan adanya korupsi energi das Über Ich oleh das Es. Artinya, terjadi ketidakseimbangan das Ich atau ego sebagai fungsi eksekutif kepribadian yang mengintegrasikan fungsi-fungsi das Es dan das Über Ich; atau, selalu terjadi dorong-mendorong, saling mempengaruhi, hingga berusaha mendominasi antara das Es dan das Über Ich untuk menguasai das Ich yang merupakan sentral kepribadian.

Jika dominasi energi insting lebih cenderung kepada nafs amarah, maka perilaku seseorang lebih didorong oleh hawa nafsunya. Sebaliknya, jika energi psikis lebih didominasi das Über Ich perilaku seseorang lebih didorong oleh moralnya.

Adalah das Ich atau ego yang merupakan struktur kognitif bermotif yang selalu berusaha memusatkan energi insting pada diri agar tercapai keseimbangan kognitif yang memberinya kecakapan untuk mengintegrasikan fungsi-fungsi jiwa tersebut dan mengarahkannya pada alam realistis dengan perilaku yang terkendali dan kreatif. Dalam berfungsinya, das Ich berpegang pada prinsip realitas.

Dorongan-dorongan das Es disebut cathexis dan dorongan-dorongan das Über Ich dan das Ich disebut anti-cathexis. Dari proses ini, manakala timbul dorongan instinktif das Es berupa perilaku primitif yang ditolak masyarakat, maka das Ich akan berorientasi kepada struktur nilai das Über Ich dan membentuk cathexis-substitusi untuk melakukan penggantian obyek, sehingga ungkapan instingtif yang primitif dapat diubah menjadi ungkapan yang dapat diterima masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan proses sublimasi yang menjadi salah satu sumber kreativitas manusia dan kebudayaan manusia.

KEMANA SUBLIMASI jiwa seorang Muslim? Karena, ia tidak hanya memerlukan transferabilitas progresif dengan diferensiasi nilai-nilai kebudayaan; namun lebih dari itu, dia memerlukan diferensiasi nilai-nilai ketuhanan dan tauhid.

Bagi seorang muslim, akseptasi nilai-nilai sosial adalah dalam rangka nilai tertinggi, yaitu: Keridaan Allah swt. Yang Maha Esa sebagai faktor monotheisme yang menjadi sentral tatanan organis dan anorganis serta tatanan agnostik dan transendental. Dengan kata lain, landasan cathexis substitutif das Ich adalah Iman Tauhid yang akan tercermin dalam perilaku dan proses mental seorang Muslim, sebagaimana tujuan Alquran ialah: Memanusiawikan kembali manusia dari keadaan hewan kepada manusia berakhlak; lalu mengangkat manusia-manusia berakhlak tadi menjadi manusia-manusia yang ber-Tuhan. Semoga Gusti Allah swt. menjadikannya demikian. Amin.[] (Agus Miftach/R.A. Daeng Mattiro)