Sufisme: Esensi dan Masa Depan Agama

SUFISME dituduh sebagai ajaran atau paham yang dimasukkan dari luar, yang berasal dari agama-agama lain seperti Hindu, Budha dan Kristen, serta dari Filsafat Yunani dan Neoplatonisme. Anggapan yang sangat kritis terhadap tasawuf itu tentu saja bukan tanpa alasan. Tak bisa diingkari, terdapat berbagai konsep pemikiran dan praktek pengalaman yang diajarkan di lingkungan mereka yang mengaku sebagai penganut sufisme, yang tidak mempunyai dasar rujukan yang kuat dan sumber-sumber Islam, terutama Quran dan Sunah. Tetapi, menafikan begitu saja sufisme dari kerangka ajaran Islam, agaknya merupakan sikap yang terlalu ekstrem. Bahwa perkataan ‘tasawuf’, misalnya, tidak didapati dalam Quran dan Hadis, tidak dengan sendirinya berarti bahwa nilai-nilai kesufian tidak dikenal Islam. Agaknya cukup mengandung kebenaran bila ada yang berpendapat bahwa pada masa permulaan Islam, sufisme adalah realita tanpa nama, sedangkan dalam perkembangan kemudian terlihat gejala sufisme lebih banyak merupakan seremoni tanpa esensi.[]

--
Dari Festival Istiqlal
Sufisme: Esensi dan Masa Depan Agama*)
Oleh
Djohan Effendi

(Surat Kabar Pelita, Tahun XVIII, Nomor 5436, Minggu, 10 November 1991, halaman 9, kolom 1-9; Dari makalah simposium “Islam dan Kebudayaan Indonesia, Dulu, Kini dan Esok”, dibacakan pada 23 Oktoben 1991)

SUFISME, yang dalam terminologi ilmu-ilmu keislaman lebih dikenal dengan nama tasawuf, oleh kalangan ahli agama dianggap sebagai mistisisme Islam. Sedangkan mistisisme sendiri, sebagian ahli menganggapnya sebagai suatu bidang otonom dari dan dalam kehidupan beragama. Ia merupakan kesadaran dan pengalaman keagamaan yang, sayangnya, tidak terlalu mudah menyerasikannya dengan prinsip-prinsip kepercayaan dan pola-pola praktek keagamaan yang dianut mayoritas komunitas agama-agama. Para mistikus sering dianggap sebagai [orang] saleh yang jiwanya telah mencapai suatu tingkat kerohanian mengatasi orang-orang awam. Celakanya, para mistikus itu, karena didorong maksud baik untuk kebahagiaan yang ia rasakan dalam pengalaman keagamaan atau juga disebut pengalaman mistik, berusaha menjelaskan pengalaman batin yang mereka hayati yang tidak terpahami oleh masyarakat biasa. Terjadilah kesalahpahaman yang meresahkan, suatu keadaan yang tak diinginkan oleh para tokoh agama yang diakui dan yang merasa mempunyai otoritas untuk merumuskan, menafsirkan dan menjaga kemurnian atau ortodoksi ajaran agama. Itulah yang dialami oleh, antara lain, al-Hallaj, Suhrawardi, Ortlleb dan Priscillian dari Avila, yang dikecam karena keyakinan mereka. Kalau begitu, bagaimana sebenarnya kedudukan mistisisme itu?

Kalau kita beranggapan bahwa manusia tak lebih dan makhluk jasmani belaka, dan karena itu kapasitas kognitif yang mereka miliki hanyalah daya persepsi, memori, penalaran konseptual, atau mungkin juga refleksi dan evaluasi, yang semuanya pada dasarnya masih dalam lingkup kemampuan indrawi, yang membuat kita menyadari dunia kebendaan yang ada di sekeliling kita, bahkan diri kita sendiri, tak lebih dari itu, maka apa yang disebut sebagai pengalaman keagamaan atau pengalaman mistik yang diaku oleh para mistikus hanyalah sekadar proses kimiawi psikologik atau hasil konglomerasi daya-daya tertentu yang terdapat dalam diri manusia, yang terjadi dalam dan menurut pola-pola alamiah. Dus, apa yang disebut sebagai pengalaman keagamaan atau pengalaman mistik itu sesuatu yang nonsen, sebuah ilusi atau bahkan kebohongan. Namun, bila sebaliknya kita beranggapan bahwa pengalaman keagamaan atau mistik itu bukan khayalan atau rekaan kosong para mistikus dan mereka bukan orang yang sakit jiwa, tak layak kiranya kalau kita mengabaikan mistisisme begitu saja.

Kita menemukan, dari bacaan atau pengalaman kita, orang-orang, di Timur maupun di Barat, dulu maupun sekarang, yang mencari dan kemudian, merasa menemukan Realitas Hakiki di balik dunia kebendaan ini. Pencarian dan penemuan ini membuat mereka merasa beroleh pencerahan batin yang membuat hidup mereka mempunyai dimensi spiritual. Pengalaman mereka memberikan bukti-bukti yang harus dipertimbangkan, sebelum kita merenungkan energitas dan potensialitas rohani manusia yang mampu berhubungan dengan dunia gaib yang berada di luar batas indrawi kita, suatu realita di balik tirai kewadagan yang dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Mereka telah berhasil membentuk hubungan antara diri mereka dan apa yang mereka yakini sebagai Realitas Hakiki, yang oleh para filosof disebut Sang Absolut dan oleh para agamawan dinamakan Tuhan.


Posisi Sufisme dalam Islam

Sufisme oleh sementara orang dianggap sebagai faktor yang menyebabkan kemunduran kaum muslimin. Terutama, oleh kalangan yang biasa disebut kaum modernis. Mereka menganggap tasawuf mengajarkan kepasifan dan kelemahan vitalitas. Dengan menekankan kesalehan individual sebagai tujuan tertinggi kehidupan, sufisme melahirkan sikap apatis terhadap keberadaan manusia di dunia ini dan mendorong orang melupakan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Bahkan, ada yang menghukum sufisme sebagai suatu bidah yang sama sekali tak berasal dari Islam. Sufisme dituduh sebagai ajaran atau paham yang dimasukkan dari luar, yang berasal dari agama-agama lain seperti Hindu, Budha dan Kristen, serta dari Filsafat Yunani dan Neoplatonisme.

Anggapan yang sangat kritis terhadap tasawuf itu tentu saja bukan tanpa alasan. Tak bisa diingkari, terdapat berbagai konsep pemikiran dan praktek pengalaman yang diajarkan di lingkungan mereka yang mengaku sebagai penganut sufisme, yang tidak mempunyai dasar rujukan yang kuat dan sumber-sumber Islam, terutama Quran dan Sunah. Tetapi, menafikan begitu saja sufisme dari kerangka ajaran Islam, agaknya merupakan sikap yang terlalu ekstrem. Bahwa perkataan ‘tasawuf’, misalnya, tidak didapati dalam Quran dan Hadis, tidak dengan sendirinya berarti bahwa nilai-nilai kesufian tidak dikenal Islam. Agaknya cukup mengandung kebenaran bila ada yang berpendapat bahwa pada masa permulaan Islam, sufisme adalah realita tanpa nama, sedangkan dalam perkembangan kemudian terlihat gejala sufisme lebih banyak merupakan seremoni tanpa esensi.

Ditilik dari segi dan hakikat keberagamaan, sufisme justru merupakan unsur esensial dari sikap keberagamaan itu sendiri. Tanpa bermaksud membenarkan dan menelan bulat-bulat semua konsep yang diajarkan tokoh-tokoh sufi, konsep-konsep yang disimpulkan dalam ungkapan-ungkapan teknis sufisme pada umumnya, merupakan usaha untuk menjelaskan berbagai aspek ajaran Islam. Karena itu, konsep-konsep itu adalah pemahaman dan penafsiran tokoh-tokoh sufi terhadap ajaran Quran dan Sunah. Sebagai pemahaman dan penafsiran, pendapat para tokoh sufi itu lebih bersifat ijtihadi, yang tentu saja tidak mutlak dan tidak selalu benar. Dan sebenarnya, tidak hanya berlaku untuk kalangan sufi atau ulama tasawuf saja, melainkan juga ulama ushuluddin, fiqih, hadis dan sebagainya.


Makna dan Tempat Sufisme

Tasawuf bisa dikatakan sebagai aspek kedalaman Islam. Sebagaimana halnya agama-agama lain, memuat pertama-tama kepercayaan tertentu, seperti eksistensi Tuhan dan kehidupan setelah mati, pahala dan dosa atas segala tindakan di dunia, yang pengejawantahannya dalam bentuk ibadah seperti sembahyang dan puasa. Semuanya itu lebih berkenaan dengan aspek hubungan manusia dengan Tuhan. Kedua, sistem moralitas dan etika yang menyangkut aspek hubungan antara sesama manusia, yang pengejawantahannya mewujud terutama dalam institusi-institusi kemasyarakatan dan hukum, seperti: perkawinan, warisan, muamalat dan jinayat. Namun, jelas bahwa yang memberi dimensi spiritualitas pada kehidupan manusia adalah hubungan vertikal manusia dengan Tuhan. Bentuk peribadatan hanyalah sekadar aspek fisikal dari hubungan tersebut, dan justru hubungan vertikal inilah yang memberi dimensi spiritualitas pada prinsip-prinsip moral dan realisasinya dalam sistem sosial dan hukum. Kontak batin dengan Tuhan, yang dihayati dalam pengalaman, merupakan ruh yang membuat agama bukan sekadar seperangkat kepercayaan dan seremoni ritual. Bila aspek kedalaman atau dimensi spiritualitas itu tak ada, agama ibarat badan tanpa nyawa. Karena itu, hubungan langsung antara manusia dan Khalik-nyalah yang merupakan nafas dan nyawa agama, sebab dalam pengalaman keagamaan atau pengalaman mistikus itu, Tuhan bukan sekadar ide. Di sinilah terletak fungsi sufisme. Inilah yang dimaksud dalam ungkapan bahwa sufisme adalah aspek kedalaman dari Islam.


Esensi Sufisme

Prinsip asasi sufisme adalah bahwa tak ada wujud mutlak kecuali Allah. Bahwa, jiwa manusia adalah limpahan dari wujud-Nya. Sehingga, walaupun manusia untuk suatu saat terpisah dari sumber samawinya, akhirnya ia akan kembali kepada sumber aslinya itu. Bahwa, kebahagiaan tertinggi yang mungkin diraih dialami manusia dalam penyatuan kembali itu. Kebaikan utama manusia dalam dunia persinggahan ini tercapai dalam kesempurnaan kesatuan dengan Ruh Abadi, dan untuk tujuan ini semua kaitan dengan obyek-obyek kebendaan mesti disingkirkan, sehingga manusia bebas dari belenggu pemilikan, tidak memiliki dan tidak dimiliki. Bila daya tarik mempengaruhi jiwa manusia, gagasan tentang kecantikan langit mesti mengatasinya dalam kesadaran estetik, sehingga tiada kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kesempurnaan Ilahi dan kehangatan ibadah manusia dengan-Nya selain berbicara tentang keindahan dan cinta dalam kesadaran transenden dan mistis. Jiwa manusia meratapi keterpisahan dengan sumbernya dalam musik melankolik, sambil menanti dengan penuh kerinduan saat pertemuan dengan Sang Kekasih.

Sufisme menekankan bahwa jiwa manusia berbeda dalam secara gradual dan Ruh Ilahi, seolah-olah partikel-partikel yang akhirnya akan diserap ke dalam pelukan-Nya. Ruh Ilahi meliputi alam semesta melalui Karya-Nya, dan konsekuensinya Dia sendirilah secara substansi yang Maha Baik, Maha Benar, Maha Indah, Maha Sempurna. Bahwa kecintaan kepada Dia sendiri sajalah yang merupakan cinta suci dan murni, sedangkan cinta kepada selain-Nya fana dan maya. Keindahan makhluk hanyalah cermin keindahan-Nya yang abadi, yang tanpa permulaan dan tanpa kesudahan. Cinta, mahabbah atau ‘isyq-lah, bukan cemas atau harap, yang merupakan esensi sufisme, yang membawa manusia kembali ke sumbernya.


Cinta kepada Ilahi dan Manifestasi-Nya

Tekanan sufisme pada kesalehan individual seringkali melahirkan sikap asyik dalam kesendirian untuk menumpahkan kerinduan terhadap al-Khalik sebagai Sang Kekasih. Sikap seperti ini tidak mesti terjadi kalau cinta kepada Ilahi juga dimanifestasikan dalam cinta terhadap makhluk-Nya, baik sesama manusia maupun alam semesta. Sebab, hidup dan alam semesta adalah anugerah Tuhan yang diberikan-Nya karena dan dalam cinta. Karena itu, hidup kita harus diisi dengan cinta: Cinta kepada Ilahi yang merupakan sumber hidup dan kehidupan, cinta kepada segala yang hidup, dan cinta kepada alam yang merupakan wahana aktualisasi hidup dan sarana kehidupan.

Cinta tentulah menuntut pengorbanan untuk yang dicintai. Sebab, dalam pengorbanan itulah, cinta itu dibuktikan. Pengorbanan terhadap yang dicintai bukanlah beban, ia bahkan memberikan kepuasan batin. Karena itu, sufisme sudah seharusnya diaktulaisasikan dalam sikap positif terhadap hidup di dunia persinggahan sekarang dan terhadap dunia itu sendiri. Dengan demikian, kesalehan individual tidak boleh lepas dan terpisah dan kesalehan sosial dan kesalehan environmental. Dalam kerangka pemahaman dan penghayatan seperti ini, sufisme akan melahirkan elan dan vitalisme, sehingga kesalehan menjelma menjadi kemuslihan.

Jika hidup bersumber dari Sang Maha Hidup, usaha meningkatkan kualitas kehidupan sesama makhluk hidup adalah bukti kecintaan kepada-Nya. Jika alam semesta merupakan anugerah Sang Maha Wujud, usaha memelihara dan melestarikannya adalah bukti kecintaan kepada-Nya. Jika proses kejadian dan penciptaan terus berlangsung sebagai karya Sang Maha Pencipta, mengembangkan kreativitas untuk membangun lingkungan hidup yang lebih baik adalah bukti kecintaan kepada-Nya. Jika hidup dan alam yang berasal dari Sang Maha Penganugerah diberikan untuk semuanya, usaha menghilangkan pikiran dan sikap sempit, sekat-sekat yang memisahkan manusia dari manusia lainnya, adalah bukti kecintaan kepada-Nya. Pendek kata, segala usaha untuk mengembangkan kehidupan di dunia ini, individual, sosial maupun environmental, mempunyai dimensi spiritualitas sebagai perwujudan cinta kepada Tuhan, yang mengintegrasikan seluruh kegiatan hidup manusia tanpa fragmentasi dan departementalisasi antara apa yang disebut sebagai sakral dan yang profan.


Sufisme dan Teologi Cinta

Dalam suasana ketika dunia diwarnai oleh berbagai konflik dan permusuhan, dan tak satu agama pun yang sebagian pengikutnya tidak berlumuran darah dalam pembunuhan, ketika kelestarian alam terganggu oleh keserakahan manusia yang mengeksploitasinya demi kepentingannya sendiri, ruh cinta agaknya perlu ditumbuhkan dalam kehidupan umat manusia. Dalam perspektif Islam, penonjolan sifat rahmaniyah dan rahimiyah Ilahi mestinya ditangkap sebagai isyarat agar aktualisasi hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam lingkungannya, dilandasi dan diwarnai oleh semangat cinta. Sufisme, yang memang beresensikan cinta, merupakan wahana untuk mengembangkan apa yang diharapkan sebagai Teologi Cinta. Sebab, dalam sufisme, semua institusi yang mengasingkan manusia dan Tuhannya, sesamanya, lingkungan hidupnya dan bahkan dirinya, dapat diminimalkan sedemikian rupa sehingga manusia mampu mengembangkan kehidupan yang lebih manusiawi dalam sorotan Nur Ilahi.

Melalui sufisme, kegarangan hidup yang ditandai oleh konflik dan permusuhan, kegersangan hidup yang diakibatkan oleh sikap materialistik dan hedonistik, dan kesuraman hidup yang dibayang-bayangi oleh polusi dan kelangkaan sumber-sumbcr alam, diharapkan akan sedikit dapat dikurangi, sehingga pesimisme berubah menjadi optimisme, kekhawatiran menjelma menjadi harapan, dan kebencian diganti oleh cinta. Memang ‘sufisme’-lah yang mempunyai potensi spiritual untuk mengendurkan absolutisme yang mengungkung kehidupan manusia dalam berbagai manifestasinya.

Agaknya, perkembangan kehidupan agama dan keberagamaan makin menghajatkan peranan sufisme. Karena dalam ‘sufisme’-lah, terletak esensi keberagamaan, dan dalam sufisme pulalah, terdapat masa depan agama.[]

-------oooOooo-------